Review Novel: Ayah
“Ayah” adalah buku yang telah
saya baca beberapa tahun silam. Namun beberapa hari lalu saya bertekad untuk
membaca kembali buku ini. Alasannya, karena pekan lalu saya baru saja bertemu
dengan penulis fenomenal dari tetralogi Laskar Pelangi yang juga menulis novel
Ayah, bang Andrea Hirata. Juga karena saya telah lupa-lupa ingat isi cerita
dari novel tersebut karena kemampuan untuk menampung dan mengingat semua buku
yang telah saya baca sangatlah terbatas. Oleh karena itu, saya putuskan untuk
membuat review dari novel “Ayah” demi menghindari penyakit lupa. Berikut
ulasannya.
Judul Buku :
Ayah
Penulis :
Andrea Hirata
Penerbit :
Bentang Pustaka
Tebal :
412 hal
ISBN :
978-602-291-102-9
Seorang anak laki-laki bernama
Sabari dari pulau Belitong jatuh hati pada seorang anak perempuan bernama
Marlena saat mereka masih duduk di bangku SMP. Di sinilah awal mula kisah hebat
mereka.
Sabari tak pernah mengenal lelah
untuk mendapatkan pujaan hatinya meski ia selalu mengalami penolakan.
Bertahun-tahun ia berjuang dan menanti namun tak pernah ada sedikit pun respon
positif dari Marlena. Hingga akhirnya sebuah insiden menimpa Marlena yang
membuat Sabari menikahi Marlena. Meski tak secuil pun rasa cinta dari Marlena
untuknya, Sabari tetaplah setia dan sabar seperti namanya. Bisa menikah dengan
Marlena saja sudah menjadi kesyukuran teramat besar baginya.
Bulan berganti, Marlena
melahirkan seorang bayi laki-laki yang dipanggil Zorro. Sabari pun tak kuasa
menahan rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Ia begitu mencintai Zorro
meski bukan anak kandungnya. Selama tiga tahun Sabari lah yang terus mengurus
Zorro. Ia berperan sebagai ayah sekaligus ibu untuk bayi itu. Sabari tak pernah
merasa sebahagia saat memiliki Zorro. Ia menganggap dirinya sebagai seorang
ayah yang sangat beruntung. Hingga suatu hari Marlena merebut Zorro dari
pelukan Sabari. Marlena pergi bersama Zorro dan menikah untuk yang ke sekian
kali. Jiwa Sabari kosong. Ia sangat kehilangan akan putranya. Ia pun tak lagi
hidup dengan normal seperti dahulu. Stres dan depresi membuatnya kehilangan
akal hingga hidup terlunta-lunta di jalan.
Suatu hari Ukun dan Tamat yang
merupakan sahabat Sabari membawa kabar gembira untuk Sabari. Zorro akan kembali.
Sabari pun akhirnya bertemu dan hidup bersama dengan putranya seperti sedia
kala. Tentu ia terus merindukan Marlena hingga ujung usianya. Seperti
permintaan ayahnya, Zorro mengukir kalimat di atas makam Sabari yang ia bawa
hingga mati, “Biarkan aku mati dalam keharuman cintamu”. Tak lama setelah itu,
Marlena pun menyusul Sabari. Ia meminta “Purnama kedua belas” diukir di atas
pusaranya. Kalimat itu adalah panggilan dari Sabari untuknya saat awal
pertemuan mereka.
Sama seperti novel-novel Andrea
Hirata sebelumnya, novel Ayah yang merupakan karya ke sembilannya juga mengambil
latar di kampung Melayu, Belitong. Tokoh yang digambarkan pun serupa dengan
tulisan-tulisan lainnya, hidup dalam kemelaratan. Meski kemiskinan sangat
tergambar jelas dalam kisah ini, namun tokoh yang dihadirkan memiliki semangat
juang besar yang membuat pembaca tak bisa berhenti hingga tiba di halaman
terakhir demi menjawab rasa penasaran akan akhir kisah dari sang tokoh.
Penggambaran latar dan tokoh menjadi wawasan bagi pembaca akan kondisi kampung
melayu di Belitong sana. Hidup dalam serba keterbatasan tak membuat
tokoh-tokohnya menyerah dengan hidup mereka. Nuansa religius pun sangat nampak
dari kisah yang diangkat.
Meski alur yang disajikan
merupakan alur campuran yang di awal sedikit membuat bingung pembaca dalam
membuat kesinambungan antara satu kisah dengan kisah lainnya, namun semua bisa
terjawab dengan baik menjelang akhir cerita. Hal yang tadinya membingungkan
justru menjelma menjadi suatu kelebihan yang sekali lagi Andrea Hirata sajikan
dalam novel ini. Pemilihan sudut pandang orang kedua tunggal dimana penulis
bisa dengan leluasa mendeskripsikan apa saja yang ada pada tokoh dan sekitarnya
membuat pembaca merasa nyaman akan hal tersebut. Sudut pandang orang pertama
tunggal juga muncul di bagian akhir novel namun pembaca tatap nyaman dengan hal
itu.
Andrea Hirata selalu saja mampu
membuat pembaca merenungi banyak hal setelah membaca karyanya. Dalam novel
Ayah, kisah yang disajikan sangat sarat akan pesan moral. Menghargai hidup dan
menghargai peran orang lain dalam hidup kita menjadi poin penting yang
disampaikan melalui tokoh-tokoh yang hadir. Selalu ada relung-relung yang
bergetar di dalam sana setelah membaca karya Andrea Hirata yang mengisahkan
kehidupan keras dari tokoh-tokohnya. Kembali menghargai diri sendiri, hidup
yang dianugrahkan, dan orang-orang yang mengambil peran dalam hidup kita tanpa
peduli status sosialnya menjadi ciri khas dari kisah-kisah Andrea Hirata, tak
terkecuali novel Ayah ini. Makna dari persahabatan juga tak luput digambarkan
dalam novel Ayah. Novel ini membuat kita sadar akan betapa beruntungnya kita
dianugrahi hidup yang penuh kebaikan. Perasaan bersyukur kepada Sang Pemilik
jagad raya mengalir di setiap sel dalam diri begitu melihat kisah hidup
tokoh-tokoh Andrea Hirata yang mungkin tak pernah kita bayangkan sebelumnya
bahwa ada orang yang diberikan hidup begitu keras namun begitu pandai
menikmatinya.
Pemilihan diksi yang apik dan
acap kali membuat pembaca tertawa terkikik adalah kelebihan yang juga tak bisa
diabaikan dari novel Ayah. Beberapa kata dan kalimat dalam bahasa lokal yang ada
dalam novel sedikit membuat pembaca bingung dengan maknanya namun tak
mempengaruhi pembaca untuk terus melanjutkan bacaan ini hingga akhir. Lawakan
yang ia munculkan dalam novel Ayah sangat khas akan budaya-budaya yang ada di
kampung Melayu. Sangat nampak betapa Andrea Hirata sangat senang berkomedi
melalui kata-kata dalam tulisannya, dan itu sangat menyegarkan untuk pembaca.