eLPiDiPi Kali Kedua


Pagi yang cerah dan segar. Matahari perlahan-lahan menyirami salah satu belahan bumi paling selatan. Di sebuah pulau berbentuk K, juga di bagian selatan, tepatnya di ibukota provinsi telah memulai rutinitas hariannya. Ratusan bahkan mungkin ribuan kendaraan memenuhi jalan. Ribuan bahkan mungkin puluhan ribu manusia di luar sana telah memulai harinya. Sama sepertiku. Dengan tujuan yang berbeda-beda. Tempat tujuan hari ini adalah Gedung Keuangan Negara. Apa yang akan kulakukan di sana? Well, let’s see the story below.

Aku masuk ke sebuah gedung yang cukup besar. Telah ada beberapa manusia dengan tujuan yang sama tiba lebih awal. Kami melakukan presensi terlebih dahulu. Kemudian duduk manis menunggu verifikasi dokumen beasiswa LPDP. Ya. Beasiswa paling prestigious di Indonesia abad ini. Betapa tidak, ada banyak rangkaian tes yang harus kami hadapi hingga bisa tiba pada hari ini. Seleksi berkas menjadi penyaring pertama. Kemudian diikuti dengan assessment online yang juga menggugurkan ratusan pendaftar. Lalu tiba di hari yang paling mendebarkan, di seleksi substansi yang menjadi penentu berhasil tidaknya kita mendapatkan beasiswa ini.

Setelah mengikuti verifikasi dokumen, aku dan beberapa kawan seperjuangan digiring ke deretan kursi di sudut ruangan untuk menunggu panggilan interview. 5 menit pertama masih biasa saja. 10 menit kemudian mulai merasa gugup. 15 menit kemudian tangan mulai dingin. 20 menit kemudian perut mulai terasa mulas pertanda gugup tingkat tinggi. 30 menit kemudian terdengar mesin pandai memanggil namaku. Antrian selanjutnya, Reskiawati Anwar kelompok wawancara 4. Aku menarik napas dalam-dalam lalu berdiri sesantai mungkin, berjalan setenang mungkin, dan duduk semanis mungkin begitu tiba di depan para interviewer. Ini bukan kali pertama aku mengikuti seleksi substansi LPDP, tapi sensasinya tidak berubah. Sangat menegangkan.

Interviewer mulai memperkenalkan diri. Seorang bapak dan dua orang ibu yang aku lupa nama mereka siapa. Yang satu berhijab. Yang satu lagi tampak berdarah Tionghoa. Perasaan gugup masih menghinggapiku hingga setiap kata yang keluar dari mulut si bapak di depanku tidak begitu tercerna dengan baik hingga tidak bisa kuingat lagi.

Sudah tarik napas? Silakan tarik napas dalam-dalam dulu.” Ah, si bapak tahu. Nampaknya rasa gugup ini terlalu jelas. Aku lalu menarik napas. Lalu berusaha mengontrol diri untuk bersikap sesantai mungkin.
“Reskiawati Anwar. Dari Sastra Inggris Unhas yah.” Ibu berhijab pink mulai membuka sesi interview.
“Iya bu. Betul.”
“Coba Reskiawati jelaskan apa alasannya mau lanjut kuliah?”
“Terimakasih bu. Salah satu impian saya adalah memiliki pendidikan yang baik. Saya juga terinspirasi dari quote seorang aktris ternama di Indonesia, Dian Sastro. Dia pernah bilang, apapun yang ingin kamu lakukan ke depan, mau jadi apapun kamu, entah itu full mom, full carrier woman, atau dua-duanya, kita sebagai perempuan harus punya pendidikan baik supaya jadi perempuan yang cerdas karena perempuan yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas.” Sudah kuduga pertanyaan ini akan muncul.
“Jadi kamu terinspirasi yah.” Kata si ibu dengan raut wajah riangnya, diikuti sedikit senyum dari si bapak dan si ibu Chinese.
“Kamu pernah tidak menghadapi masalah yang besar? Masalah seperti apa itu dan bagaimana kamu menyelesaikannya?” Tanya si ibu yang berhijab.
“Pernah bu. Saya pernah dihadapkan pada situasi dimana saya merasa sangat lelah dengan hidup. Waktu itu saya sangat sibuk dengan berbagai kegiatan di kampus karena saya mengikuti beberapa organisasi. Jadwal yang sangat padat membuat saya stres. Saya merasa hidup ini terlalu melelahkan. Tapi untungnya saya punya saudara, ibu, dan teman-teman untuk berbagi cerita. Jadi itu meringankan beban saya.”
“Berarti kamu bukan tipe yang bisa multi tasking yah?” timpal si ibu Chinese.
“Setelah melewati masa sulit yang tadi justru saya merasa semakin kuat. Saya mulai berpikir tentang skala prioritas. Mana yang harus dilakukan di awal dan seterusnya. Jadi semakin ke sini semakin bisa memanage waktu.” Jawabku.
“Reskiawati sejak kelas 1 SD hingga SMA selalu juara kelas. Kuliah juga lulus dengan cumlaude. Tapi kenapa waktu naik kelas 2 SMA begitu ketemu dengan Einstein Einstein semangat juangnya hilang? Ini berarti kamu menyerah yah?” kali ini si bapak yang bertanya. Aku begitu terharu karena pertanyaan ini berdasarkan apa yang tertulis di essayku. Rasanya ingin berterimakasih pada si bapak karena telah meluangkan waktu untuk benar-benar membaca essay yang tidak sebentar aku susun itu.
“Waktu itu saya merasa telah memilih jurusan yang tidak tepat ketika pembagian jurusan di kelas 2. Karena hampir semua orang beranggapan bahwa jurusan IPA adalah jurusan terbaik, maka saya pun ikut-ikutan memilih jurusan ini tanpa tahu apakah saya benar-benar bisa atau tidak. Setelah bergabung di kelas ini, saya mulai menyadari bahwa jurusan IPA kurang saya minati. Saya juga agak shock melihat ketekunan teman-teman yang benar-benar belum pernah saya temui sebelumnya. Saya sadar sepenuhnya bahwa saya tertinggal dibanding teman-teman. Ketika mereka menunjukkan banyak prestasi seperti menjuarai berbagai olimpiade sains, saya justru mencoba mengikuti ajang lain yang menurut saya minat dan bakat saya ada di sana. Contohnya, saya berhasil menjuarai beberapa lomba menulis, lomba debat bahasa inggris, dan lomba pidato bahasa inggris. Jadi meskipun saya tidak memiliki prestasi segemilang kawan-kawan di kelas, tapi saya bisa bersaing dengan memilih jalan saya sendiri.” Jawabku panjang.
*
Sebetulnya masih ada beberapa pertanyaan. Tapi kali ini cukup pertanyaannya yang aku rangkum.
o   Boleh tidak berbohong untuk kebaikan?

o   Bagaimana pandangan kamu terhadap norma-norma yang ada di masyarakat?

o   Apa hal yang menurut kamu menjadi kelemahan dalam dirimu?

o   Setelah menyelesaikan magister kamu berencana untuk melakukan apa?

o   Menurut kamu, kamu berhak untuk mendapat beasiswa ini? Coba jelaskan alasanmu. Please explain in English!

Kurang lebih setengah jam aku menghabiskan waktu di depan para interviewer. Setelah sesi interview berakhir mereka memberi semangat dan doa agar lulus dan ke depannya bisa sukses. Semoga ini menjadi pertanda baik. Tapi apapun hasilnya harus diterima dengan lapang dada. Lulus, Alhamdulillah. Belum lulus, no problem, mungkin ada jalan lain yang harus tempuh. Berdoa dan tawakkal. Semoga di postingan selanjutnya aku juga bisa menulis pengalaman tes yang jauh lebih detail layaknya para awardee. Semoga.

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

Suamiku