Belum Kapok Sekolah



Pagi yang sedikit beda. Kalau kemarin-kemarin bangunnya pukul empat karena harus masuk sekolah dan mengajar di pagi buta, kali ini bangunnya agak telat ‘sedikit’. Tak apa. Karena ini pagi yang lama dinanti. Setelah serangkaian pemberkasan, pengunduran jadwal, perasaan digantung de el el, finally pagi ini datang juga. Jadwal tes tiba. Tes masuk perguruan tinggi.

Lagi?
Iya. Lagi. Belum kapok sekolah.

Karena kata si mbak pemeran utama Ada Apa Dengan Kartini, entah akhirnya kamu mau jadi seperti apa di masa depan; full karir, full ibu rumah tangga, atau setengah-setengahnya, kamu harus tetap berpendidikan karena kamu akan melahirkan anak-anak yang juga cerdas. Quote populer dan favorit sejuta umat, termasuk diriku.

Mbak Cinta atau Mbak Kartini atau siapapun namamu, aku mau bilang, kamu inspiring! Aku suka.
Jadi kudu belajar tekun biar anak-anake di masa depan juga pada pinter.

"Jangan kapok-kapok kunjungi aku yah," kata si Merah

Terlepas dari sanggup tidaknya diri ini membayar sumbangan pelaksanaan pendidikan alias espepe yang sangat jauuuuh dari kata “murah”, ambil langkah sajalah dulu. Terus majuu jalan. Terobos saja Bung. Entah akhirnya akan seperti apa. Serahkan saja pada Si Pembuat ending yang tak tertandingi kemumpuniannya.

Tesnya terbilang tidak begitu sulit (juga tidak mudah sebetulnya karena terbukti kepala terasa nyut-nyut berkepanjangan setelah meninggalkan ruangan). Saat mengetik tulisan ini pun masih sedikit terasa. Tapi itu bukan hal utama yang ingin kusampaikan pada tulisan kali ini (prolognya kepanjangan yah. Maaf, nampaknya belakangan diri ini sangat terlatih dalam membuat prolog). Ada sesuatu yang jauh lebih dahsyat dari sakit kepala ini.

Aku menyusuri koridor setelah bertanya pada pak security letak ruangan 108 Sps Unhas. Aku melihat wajah-wajah serupa denganku. Celangak celinguk mencari ruangan yang tertera pada kartu ujian mereka (tuh kan, lagi-lagi prolog. Oke. No problem. Cerita tanpa prolog bagai taman tak berbunga hei begitulah kata para pujangga. Aduhai,... itu lagu dangdut. Maaf, diri ini juga heran sedang menulis apa sebetulnya aku ini).

Ruangan 103, 104, 105, 106, 107, oke, ruangan setelahnya mestilah 108. Siap berbelok dan,.......

“Tadaaaaa..........” Seseorang seperti hantu mengagetkanku di depan pintu. Ia memasang senyum  kemenangan. Seperti sudah direncanakan jauh-jauh hari untuk melakukan tindak kejahatan ini. Ia tertawa besar, juga nampak banyak bahagia melihatku. Kami bertemu lagi. Iya. LAGI. Aku sempat berpikir, mungkin dia diciptakan untuk menjadi penguntit dalam hidupku (Haha. Piss Bae). Tapi siapa sebenarnya perempuan ini? Perlukah aku ceritakan? Perlu? Okay. Mengingat dia punya banyak fans, mungkin rating tulisan ini akan naik jika namanya kusebut berkali-kali.

Dia Odah. Nama KTP-nya Radiah Annisa Nasiruddin. Teman baikku. Sahabat karibku. Kami berkenalan lima tahun silam. Sejurusan di Sastra Inggris Unhas, magang bersama di radio kampus, dan sepermainan di Forum Lingkar Pena yang kemudian mengantarkan kami pada perjalanan hidup yang penuh emosi di organisasi ini, lalu sesekali yang menjelma berkali-kali bertemu di luar sana sebagai teman dan sahabat. Kami lulus di tahun yang sama.

Hidup memaksa kami memilih jalan masing-masing. Aku di sini dan kau di sana, kita menatap langit yang sama. Stop! Jangan karokean di sini!

Aku di Maros, Odah juga. Meski masih melihat awan yang sama, pertemuan setelah hampir setahun lulus bisa dihitung dengan satu tangan. Kami, sekali lagi, memilih jalan serupa; menjadi seorang guru. Meski di sekolah yang berbeda. Kami pun sibuk dengan rutinitas masing-masing. Lalu pada suatu hari, aku memutuskan mendaftar sebagai camaba di unhas. Pernah aku menanyainya seputar rencana melanjutkan pendidikan. Tapi perempuan penuh misteri itu hanya menjawab sekadarnya. Rupanya ia ada di hadapanku hari ini. Tentu bukan untuk mengunjungiku dan memberi semangat untuk tes. Melainkan melakukan hal yang sama denganku.

Odah tidak begitu terbuka untuk beberapa hal. Hingga hari ini, aku belum bisa mengatakan bahwa aku sangat mengenalmu Odah. Meski sudah kukategorikan kau sebagai sahabatku. Mungkin karena dulu kau terlampau sering bergaul dengan karya Allan Poe. Banyak sekali rahasiamu. Mungkin jika kau akan menikah, undanganmu akan tiba sehari sebelum akad. Dan kumohon jangan lakukan itu.

Hari ini, garis takdir lagi-lagi mempertemukan kita. Jika rencana sesuai kehendak Pemilik jagad raya, maka wajahku akan semakin sering mengisi harimu. Kau, si pemilik wajah ceria yang bisa dengan cepat berganti mood, jangan bosan-bosan duduk di sampingku, belajar di kelas dengan dosen yang sama, mendengar curahan hati tak berujung, tertawa besar seperti dunia milik berdua, dan teruslah saling memberi motivasi. Dan yang terpenting, rajin-rajinlah belajar. Jika malas menghinggapimu, ingatlah espepe.



White House yang sekarang berganti cat menjadi cream,
Diselingi FTV “Kecantol Cinta Selebgram”
 

Postingan populer dari blog ini

Aku Seorang Ambivert

Suamiku

eLPiDiPi Kali Kedua