Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2013

One Second

Sore ini mendung. Tapi tidak ada hubungannya dengan obrolanku bersama adikku, Wawan. Anak itu selalu saja mengeluarkan kalimat-kalimat yang mampu mengocok perut. Tidak pernah kehabisan banyolan-banyolan segar. Sama seperti sore ini di ruang tengah. “Sebutkan ko bede’ lima nama buah-buahan dalam satu detik!” perintahnya yang selalu tidak bisa kutolak. Bocah ini ada-ada saja. Mana bisa aku melakukan hal itu. Tapi bukan kakaknya Wawan namanya kalau menolak tantangannya. Tanpa pikir panjang langsung kulontarkan nama buah-buahan berjumlah lima. “Anggurapelmanggajerukpisang.” Ucapku terburu-buru tanpa spasi. Sungguh sangat menyebalkan. “Ah. Itu lebih dari satu detik. Kalau saya toh satu detik ji .” Ungkapnya sedikit sombong. “Apa pade’ kalau bisa ko satu detik?” “RUJAK!” sebutnya seraya memandangku dengan pandangan remeh, yang tak ayal lagi-lagi sukses membuatku tercengang beberapa detik yang dilanjutkan dengan tawa yang berderai-derai. Ah. Lagi-lagi aku masuk per

Ramadhan

Ini kali kedua aku memulai Ramadhan tidak di rumah. Sejujurnya aku sangat merindukan suasana rumah bersama keluarga. Tapi ini sudah menjadi pilihanku. Sesuatu membuatku harus mengurungkan niat untuk pulang. Kuharap ini pilihan yang tepat. Sangat jarang orang yang bisa mengambil keputusan yang tepat di saat yang tepat. Kuharap aku adalah salah satu di antaranya. Pondokan sepi. Tentu saja. Semua memutuskan untuk menjalani ritual mudik alias pulang kampung. Termasuk dua orang sahabatku, si Oki dan Nahli. Jauh hari sebelum menjemput Ramadhan mereka sudah meninggalkan kota Makassar. Aku bisa membayangkan bagaimana bahagianya mereka menghabiskan waktu bersama orang-orang terkasih. Sangat kontras denganku. Seorang diri di kota orang memikul tanggungjawab sebagai broadcaster. Kuharap ini investasi untuk waktu depan. Masih ada seorang lagi yang belum meninggalkan pondokan: kak Ade. Dia kakak tetangga kamarku. Untunglah ada kak Ade yang bisa sedikit mengobati rasa sepiku. Shalat tar

Seperti Sungai yang Mengalir

Gambar
Seperti Sungai Yang Mengalir adalah sebuah buku berisi renungan-renungan hidup karya Paulo Coelho. Buku ini memuat kisah-kisah yang sarat akan pembelajaran hidup. Sungguh, Paulo telah melahirkan buku yang mengajak kita untuk memaknai hidup dengan sebenar-benarnya. Hidup ini terlalu indah untuk disia-siakan. Untuk itu jalanilah dengan penuh kesyukuran.  Untuk siapapun yang ingin menjalani hidup dengan sepenuh-penuhnya, saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca.         

Hujan Pertama

Aku selalu suka hujan. Entah sejak kapan. Aku merasa sangat bahagia kalau titik-titik air itu jatuh dari langit. Aku suka saat hujan membasahi rumput.   Aku suka saat tanah basah karena hujan. Aku suka hujan membasahi alam ini. Aroma rumput basah, aku sangat menyukainya. Aroma segar hujan, aku juga sangat menyukainya. Tik.. tik.. tik. Aku suka irama saat hujan dan atap beradu. Hujan membuat tidurku lebih nyenyak. Dan sore ini hujan pertama di bulan Juli menyapaku setelah sekian lama aku merindukannya.           Aku benar-benar meresapi bulir-bulir bening itu. Juga benar-benar meresapi kesendirianku di kota orang –di kamar ini, saat aku menulis tulisan ini. Yah. Aku diliputi rasa sepi. Mungkin sedikit terkesan manja. Tapi aku benar-benar merindukan keluargaku –ibuku, adikku, adakah kalian juga merindukanku? Aku tidak menyebutkan ayah bukan karena aku tidak merindukanmu. Aku juga merindukanmu. Bahkan lebih merindukanmu. Hanya saja, aku tidak bisa lagi mendengar jawabanm

Déjà vu

Gambar
Pukul tiga pagi aku tiba di kampung halamanku, Fanfar city alias Pangaparang. Aku kembali menghirup udara yang telah lama kurindukan. Ini adalah kali ke empat aku menjalani ritual yang akrab disebut Pulang Kampung setelah dua semester menjadi mahasiswa di universitas yang terkenal akan lambang Ayam Jantannya.                 Tidak ada yang berbeda. Suasananya masih sama seperti ketika terakhir aku datang. Oh, ada yang membuatnya sedikit berbeda. Kali ini aku datang tidak seorang diri. Melainkan bersama sahabat tercinta, Cicuk Maricuk. Haha. Setelah ribuan hari kami menjadi teman, untuk yang pertama kalinya ia akan menginap di kediamanku yang tergolong sangat sederhana.                 Kami langsung menuju ke peraduan setelah beberapa menit disambut dengan obrolan ringan sang Bunda. Haaah. Betapa leganya bisa kembali menikmati tidur yang nyenyak di kasur reotku.                 Hoaaam… Sinar matahari melompat dari balik jendela. Rupanya pagi telah menjemput.